23 Oktober 2015

22.22


Dua puluh dua. Dua puluh dua
Hari ini harapan telah bersua
Menghabiskan hari berdua
Meski belum menyaksikan puisi bersuara
Biarlah dua hati bersuka
Sukacita bertemu idola
Dipuja namun tetap sederhana
Mengamati idola inginnya serupa
Sederhana rendah hati ramah terbuka
Serupa memang tetap tak sama
Maka terbukalah diri menerima karunia
Sama murninya dari Pencipta
Karunia mencipta harapan jadi nyata

25 Juli 2015

Menyapa jiwa

"Apakah kamu memberi makan jiwamu?
Apakah kamu bahkan memerhatikannya?
Apakah kamu menyembuhkan atau menyakitinya?
Apakah kamu bertumbuh ataukah menjadi layu?
Apakah kamu mengembang ataukah menyusut?

Apakah jiwamu itu sama kesepiannya dengan pikiranmu?
Apakah jiwamu bahkan lebih terlantar?
Dan kapan terakhir kali kamu merasa jiwamu itu diekspresikan?
Kapan terakhir kali kamu menangis gembira?
Menulis puisi? Bermusik? Menari di tengah hujan? Memanggang kue? Melukis apa saja? Memperbaiki sesuatu yang patah? Mengecup bayi? Menempelkan seekor kucing pada wajahmu? Mendaki bukit? Berenang telanjang? Berjalan saat mentari terbit? Memainkan harmonika? Mengobrol hingga fajar merekah? Bercinta berjam-jam? Menyatu dengan alam?
Mencari Tuhan?

Kapan terakhir kalinya kamu duduk sendirian ditemani keheningan, berjalan ke relung hatimu yang terdalam?
Kapan terakhir kalinya kamu menyapa jiwamu?"


-Neale Donald Walsch, dalam Conversations with God Buku 2-




11 Juli 2015

cinta tanpa tanda baca

Tidak perlu tanda tanya karena tak perlu dipertanyakan
Tidak perlu tanda seru karena tak diperlukan perintah atau paksaan pun ancaman
Tidak perlu tanda koma karena cinta justru membangunkanmu dari koma
Tidak perlu tanda titik karena cinta tak semestinya diakhiri

***


29 Juni 2015

perihal seleksi karyawan


Beberapa kali membuat laporan evaluasi tes psikologi untuk seleksi karyawan mengantarku pada pemikiran lain. Ah, ya, kujelaskan singkat dahulu apa yang kukerjakan. Aku menerima berkas hasil tes psikologi lalu kubuatkan laporannya. Kadang ada yang sudah disertai saran dari supervisorku, apakah pelamar yang dites ini disarankan untuk diterima bekerja, dipertimbangkan, atau ditolak. Kadang aku diberi kepercayaan untuk menuliskan saran tersebut dengan tetap disupervisi. 

Pengalamanku belum banyak di bidang ini. Aku tergolong pemula di ranah rekrutmen dan seleksi karyawan, setelah sebelumnya lebih berkecimpung dalam dunia pelatihan atau training.  Beruntung, aku masih di bawah supervisi dalam melakukan diagnosis dan mengambil keputusan terhadap lolos-tidaknya calon karyawan. Di satu sisi, melakukan diagnosis itu pekerjaan yang menyenangkan buatku. Seru, mungkin bisa dibilang begitu, ketika mendinamikakan kepribadian dan menemukan benang merahnya. Ya, kalau jadi terbayang gambaran umum pribadinya memang menyenangkan, tapi kalau tidak, memusingkan juga…hehehe. Di sisi lain, menetapkan saran untuk merekomendasikan atau menolak seseorang bekerja di suatu perusahaan, ini bagian yang sejak lulus S1 Psikologi kuhindari, sehingga aku memilih bidang pelatihan. Dan, dengan kapasitasku sekarang, aku diharapkan dapat memberikan saran terbaik perihal seleksi karyawan ini, untuk kemaslahatan kedua pihak, perusahaan dan karyawan. Bagi perusahaan, mereka bisa langsung memanfaatkan laporan evaluasi tersebut sebagai bahan pengambilan keputusan. Lalu bagaimana dengan pelamar atau calon karyawan? Ada beberapa perusahaan yang memberikan feedback, tetapi banyak pula yang tidak. Yaa, pekerjaan untuk mengurusi karyawan mereka saja sudah banyak, mungkin itu pertimbangan efisiensi mereka. 

Jadi, sudah beberapa kali aku terusik ketika menghadapi laporan psikologi yang kubuat, yang berujung pada saran “menolak”. Biasanya, itu terjadi karena aku menyayangkan adanya potensi cerdas yang kurang didukung dengan sikap kerja yang baik, atau potensi cerdas yang karena kurang didukung kebiasaan belajar atau upaya pengembangan diri, potensinya menjadi tidak berkembang.
Contoh saja ya, ada seseorang yang cerdas secara intelektual. Dalam bekerja, ia cenderung bertindak “semau gue”, kalau suka dikerjakan, kalau tidak, ya, tidak dikerjakan. Tidak suka keteraturan. Selain itu, kurang memiliki daya tahan untuk bekerja hingga tuntas. Dengan begini saja, dikhawatirkan ia tidak selalu mampu memenuhi jadwal pekerjaan atau target. Keinginannya sangat besar untuk pamer atau unjuk kemampuan. Apabila melakukan kesalahan, ia tidak mudah mengakuinya. Sayangnya, ia juga sulit menyelami sudut pandang dan perasaan orang lain. Bisa dibayangkan bagaimana kontribusinya dalam tim? Bagaimana pula seandainya ia diplot sebagai pemimpin? 


Lantas, apakah para pelamar ini kemudian tahu tentang evaluasi kepribadiannya yang menyebabkan mereka tidak lolos seleksi? Ya, itu tadi, mereka tidak selalu mendapat kesempatan untuk mengetahuinya. Dengan berbekal ketidaktahuan, mereka mungkin tetap mengikuti tes seleksi di perusahaan yang lain, bermodal hafalan jawaban dari buku latihan psikotes yang sekarang sangat menjamur, yang tetap tidak mengubah cerminan kepribadiannya. Ketika suatu saat ia diterima bekerja, tak jarang muncul ketidakpuasan, misalnya, merasa pekerjaannya tidak sebanding dengan impiannya, atau menemukan kesulitan dalam beradaptasi, dan sebagainya. Mereka yang berhasil melalui kesulitan-kesulitan ini, tentulah karena beroleh kesempatan luar biasa untuk mengenali dan mengembangkan dirinya, berani menempa diri untuk menerima keadaan dan meningkatkan kemampuannya (menerima apa yang tidak mampu diubah dan mengubah apa yang mampu ia ubah).


Sampai sini, bagaimana kulanjutkan tulisan ini? Banyak harapan yang bermunculan terhadap lembaga yang mengeluarkan hasil pemeriksaan psikologis, terhadap para pelamar kerja, dan perusahaan. Tapi, akan lebih konkret untuk meniatkan diri bekerja dengan sebaik-baiknya dan bertanggung jawab terhadap-Nya yang "menitipkan" persimpangan hidup mereka di jalanku. 

10 Juni 2015

Jujur

Syarat pertumbuhan adalah jujur pada diri sendiri. Barangkali ada syarat lainnya, tapi kali ini tentang jujur. Seperti pohon yang dengan jujur menghadapkan tubuhnya pada cahaya matahari, ia bertumbuh ke atas, atau menyamping, agar pucuk-pucuk pertamanya menerima hangat matahari. Bunga matahari tidak memalingkan wajahnya dari sang surya, sadar bahwa ia juga membutuhkan cerah yang lebih cerah dibandingkan cerah mahkotanya sendiri.

28 April 2015

cahaya

Aku selalu suka langit cerah. Sama sukanya juga dengan langit mendung. Yang kutuliskan kali ini tentang langit cerah. Saat langit cerah, cahaya matahari menerpa semua permukaan benda. Warna-warna mereka memancar keluar seraya memantulkan warna kuning cerah. Hijau daun-daun yang rimbun di kepala pohon tampak lebih hijau. Atap rumah merah berkilat. Langit benar-benar bersih biru mudanya. Jalan beraspal tampak keemasan.

Apa yang membuat mereka tampak cantik? Permukaan mereka menerima cahaya matahari sepenuhnya, tanpa terhalang awan, kabut, juga udara yang berpolusi. Kecantikan mereka semakin terlihat karena terpapar cahaya. Para pegiat fotografi pasti sepakat: melukis dengan cahaya. Itulah mengapa di studio foto, mereka memasang banyak sekali lampu, agar keindahan setiap sisinya tertangkap mata kamera.

Keindahan semakin tampak karena ada cahaya. 
Bukan berarti keindahan tidak ada, tetapi semakin tampak karena Cahaya. Biarkan hidup ini terpapar Cahaya sepenuhnya, memantulkan Cahaya kepada sekitar.

Kecantikan semakin terlihat karena ada cahaya. 
Jadilah cahaya yang mempercantik sekitarmu, yang mendorong kecantikan mereka memancar.

*


Aku selalu suka pagi yang cerah, menumbuhkan semangat mengawali hari. Sama sukanya dengan langit sore yang cerah, cahaya kuning-jingganya lagi-lagi memapar daun-daun, menciptakan siluet pohon. 

11 Maret 2015

Sunset


Menjumpai pemandangan matahari terbenam pada tujuh hari berturut-turut mengantarku pada sebuah pemahaman.

Apa bedanya, sunset di pantai dan di gunung? Tanyaku pada seorang sahabat, apakah beda, sunset di Pantai Triangulasi, Pantai Pulau Merah, dan Pantai Kuta? Apakah beda, sunset yang dipandang dari bumi dengan di atas awan?

Mengapa orang mengejar sunset di Kuta? Benar-benar harus memandangnya di Kuta, bukan di pantai selatan Jawa. Yang pernah kusaksikan, pemandangan langit senja kemerahan di atas Stasiun Bogor maupun di balik gedung perkantoran Jakarta juga tak kalah cantiknya.

Taman Nasional Baluran (dok.pribadi)

Taman Nasional Baluran (dok. pribadi)
Pantai Triangulasi, Taman Nasional Alas Purwo (dok. pribadi)

Pantai Pulau Merah (dok. pribadi)

Pantai Pulau Merah (dok. Awesome Trip)
Pantai Kuta (dok. pribadi)


Kudapati keindahan setiap tempat wisata yang menawarkan sunset tidak terpaku pada pemandangan matahari terbenamnya. Mataharinya toh tetap sama, namun pemandangannya tak pernah sama.

Ketika yang dinanti adalah sunset, yang indah justru semburat merah dari balik perbukitan karena mataharinya sendiri tertutup punggung bukit.

Ketika yang dinanti adalah sunset, yang menawarkan keindahan justru pemandangan langit setelahnya. Menunggu beberapa menit kemudian, yang terpampang adalah awan-awan bergulung kemerahan hingga ungu kebiruan.

Aku berani bertaruh, meski tempatnya masih sama, sunset esok hari menawarkan pemandangan lain yang berbeda. Awannya berbeda, warna langitnya berbeda, pantulan air lautnya berbeda. Ini baru dari segi visual. Belum lagi bila ditambah terik matahari, sepoi angin, deru ombak, dan sebagainya.

Seperti juga Taman Nasional Baluran yang katanya lebih eksotis pada pertengahan bulan Agustus, saat hampir semua tanaman berwarna kekuningan dan padang rumputnya menyerupai padang Afrika. Pemandangan ini tak akan ditemukan di TN Baluran pada bulan Februari yang memanjakan mata dengan rumput-rumput hijaunya.

Jadi, keindahan tempat wisata bukan hanya lokasi, tapi juga perihal waktu, ya? Kalau begitu, setiap tempat tak hanya menawarkan satu keindahan. Ia menawarkan 365 keindahan setiap tahun. Bahkan lebih banyak lagi bila memperhitungkan keindahan yang dikandung tiap menitnya.

Jika masih ada 364 keindahan yang belum teramati di satu tempat, mengapakah orang mencari tempat-tempat baru untuk dijelajahi? Mengapa mencari kecantikan lain di tempat-tempat lain? Sebatas pemenuhan checklist-kah? Mengatakan begini, bukan berarti aku tidak sepakat dengan para pengejar matahari di berbagai belahan bumi. Justru aku berterima kasih pada mereka yang menjadi cerminan motivasi untuk menjelajah dan mengapresiasi keindahan semesta.

Hanya saja, perlu kusadari sungguh perihal keindahan ini.
Agar aku tak lupa bahwa keindahannya sudah ada kini dan di sini.
Sebelum aku mencarinya ke tempat-tempat lain.

***


Pada setiap memandang sunset, juga semua pemandangan semesta yang kutemui, hati ini hanya bisa berujar terima kasih, terima kasih, terima kasih. 

07 Maret 2015

Semua bermula

Semula, tujuan liburan kami adalah Taman Nasional Baluran. Sebelum berangkat saja, destinasi kami sudah meluas hingga Bali. Apalagi di Banyuwangi, kami singgahi juga Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri. Sayangnya, belum ada yang memberi kami gelas cantik atau payung cantik karena melancong ke tiga taman nasional sekaligus.

Semula, hari pertama untuk wisata kota Surabaya. Lalu secara spontan –atau memang terencana? :p- kami bertolak ke Bengkalan, Madura dan mencicipi Bebek Sinjay yang fenomenal itu. Perubahan spontan –atau impulsif?- ini tak berhenti di sini. Masih dengan sisa-sisa kesadaran setelah hampir 24 jam tidak tidur, kami mendapat tawaran dari pemandu kami untuk menjelajah Teluk Hijau dan Pulau Merah. Yap, jadwal dan rute perjalanan yang sudah kami buat serapih bikinan agen perjalanan wisata, kami tinggalkan, dan membiarkan diri kami dipandu oleh perjalanan itu sendiri.  

01 Februari 2015

Surat Semangat



Senang sekali, surat semangat ini sampai juga di tangan anak-anak SD Inpres di Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur melalui Senza Arsendy, salah seorang pengajar muda program Indonesia Mengajar. 
Gambar ini, bisa dibilang sebagai replika surat tersebut, saya tampilkan di sini, agar semangat, keceriaan, atau apapun rasa senang yang dirasakan saat membacanya, dapat menular kepada siapapun yang membacanya :)


salam semangat,
Mia Marissa Kumala
awal tahun 2015



PK, sepotong resensi

Kehilangan barang berharga. Ke mana akan mencarinya? Orang-orang di sekitar, tidak melihat. Pusat informasi, apabila kehilangannya terjadi di tempat umum, tak memberi kabar. Bagian keamanan atau polisi, tidak juga menemukan. Orang pintar alias cenayang, barangkali? Tak berhasil. Ke mana akan mencarinya?

“Tanyalah pada Tuhan.” “Hanya Dia yang bisa memberi jawaban.” Ada pula yang tertawa nyinyir, “Hahaha… Mana kutahu? Berdoa saja.”

Sekarang, kata “barang berharga” bisa kauubah, misalnya dengan “uang”, “kesehatan ginjal”, “penglihatan”, “keceriaan anak”, “kasih sayang orangtua”, “kekasih”, “kekuasaan”, “pekerjaan”, “tempat tinggal”, “harapan”, dan lain sebagainya yang bernilai untukmu, lalu tanyakan kembali pertanyaan di atas. Apakah juga akan berujung pada saran serupa?

30 Januari 2015

Belajar (2)

Pekik kegirangan itu mengejutkanku. Bukan, bukan dari seorang anak kecil. Suara itu berasal dari seorang paruh baya, yang usianya hampir mendekati usia ibuku. Apa sebab? Beliau baru saja berhasil menuangkan pikirannya ke dalam baris-baris paragraf.

Mundur ke beberapa menit sebelumnya, ada semburat sayu pada matanya. Lelah, sudah pasti. Jenuh, apalagi. Itu akumulasi perjalanan penelitiannya 3 tahun terakhir. Kini, ia sudah ada di penghujung. Sebagai hiperbolis, bolehlah kusebut tinggal sejengkal lagi menuju gelar doktornya.

03 Januari 2015

Permintaan apakah yang tepat?

Hari ketiga, bulan pertama, tahun baru. Masih hangat dengan resolusi, permintaan, dan harapan yang baru.

Adakah manusia terlepas dari permintaan? Sejak lahir kita hidup berdampingan dengan permintaan. Permintaan menjadi tanda geliat kehidupan manusia. Bayi yang menangis minta susu atau menangis karena kepanasan, yang jelas ia minta orang dewasa melakukan sesuatu terhadapnya, agar ia kembali nyaman, agar ia bisa mengatasi ketidakseimbangan tubuhnya.