07 Maret 2015

Semua bermula

Semula, tujuan liburan kami adalah Taman Nasional Baluran. Sebelum berangkat saja, destinasi kami sudah meluas hingga Bali. Apalagi di Banyuwangi, kami singgahi juga Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri. Sayangnya, belum ada yang memberi kami gelas cantik atau payung cantik karena melancong ke tiga taman nasional sekaligus.

Semula, hari pertama untuk wisata kota Surabaya. Lalu secara spontan –atau memang terencana? :p- kami bertolak ke Bengkalan, Madura dan mencicipi Bebek Sinjay yang fenomenal itu. Perubahan spontan –atau impulsif?- ini tak berhenti di sini. Masih dengan sisa-sisa kesadaran setelah hampir 24 jam tidak tidur, kami mendapat tawaran dari pemandu kami untuk menjelajah Teluk Hijau dan Pulau Merah. Yap, jadwal dan rute perjalanan yang sudah kami buat serapih bikinan agen perjalanan wisata, kami tinggalkan, dan membiarkan diri kami dipandu oleh perjalanan itu sendiri.  


Bicara soal meninggalkan dan melepaskan… tak semua hal mudah untuk dilepas. Namun, yang sudah pergi memang sebaiknya dilepas, ya.. Seperti balon-balon yang hanyut di parit sawah. Seperti juga ratusan foto di memory card yang terpaksa lenyap. Seperti juga huruf-huruf di pantai yang tersapu air laut. Ups, ini belumlah akhir dari tulisan, belum sampai pada tema-tema berpisah, move on, dan sejenisnya, kok.

Oke, kembali lagi.

Semula, perjalanan ini untuk refreshing. Ya, kami bermain sepanjang waktu. Apapun bisa menjadi permainan. Permainan jari, kartu, lagu, tebak-tebakan, juga lempar tangkap tisue di ruang tunggu bandara. Ah ya, bahkan mempertanyakan mengapa di sosmed ada banyak ekspresi tertawa (“hahaha, wkwkw, bhahaha, hihihi, nyiahaha, bwakaka, muahaha”, dsb) bisa jadi bahan tertawaan di sela-sela kemacetan perjalanan kami. Tak hanya permainan iseng-iseng seperti disebutkan tadi, coba perhatikan paragraf berikut ini.

Semula, kami hanya ingin memandangi Danau Beratan dalam rintik-rintik hujan. Ternyata, jas hujan dan rintik yang menderas mengundang kami untuk melakukan shooting gambar di sana. Tersebutlah seorang reporter Awesome Tvchannel, cameragirl, produser, kru TV, dan seorang yang menyamar sebagai warga setempat, memeragakan reportase suasana banjir di danau yang memang terendam air, tentunya. Nah, itu baru satu drama. Tak terhitung berapa banyak drama yang kami buat selama perjalanan ini.

Umm, bukan cuma drama sih.. Ada pula kisah heroik penyelamatan ulat bulu dan pemotretan bayi ular yang imut (*hoeekk).

Bukan juga cuma drama, kami benar-benar merekam setiap tempat yang kami singgahi bersama host dan co-host paling hits…di kelompok trip kami. Kok kelompok ya bahasanya…berasa tugas kuliah. Tapi jangan samakan perjalanan kami dengan karyawisata atau darmawisata setingkat pelajar. Tingkatannya masih ga jauh-jauh dari level mahasiswa kok. Ups..

Sudah terbayang, kan, bahwa semula, perjalanan ini adalah liburan. Tapi, di tengah perjalanan berkembang menjadi semacam ospek militer. Tak disangka, kami dilepas begitu saja oleh pemandu kami, yang mantan marinir, untuk menjelajah Goa Istana dan Goa Mayangkoro di Taman Nasional Alas Purwo. Goa yang untuk mencapainya saja perlu mendaki dan menaiki tangga vertikal 90 derajat! Pagi harinya kami baru saja mendaki Kawah Ijen. Dan esoknya kami ditantang menembus bukit demi rute tercepat mencapai Teluk Hijau. Rute tercepat ini, konon, baru dibuat satu bulan yang lalu, sehingga pemandu kami masih harus membuka jalan dengan memangkas pohon-pohon yang menghadang ataupun memadatkan tanah sebagai pijakan. Tak heran jika kami malah ingin libur dari jadwal liburan ini. Liburan bisa sedemikian menekan.. OMG!

Semula, kami bertekad melihat bule eh blue fire di Kawah Ijen. Sayangnya, gate baru dibuka pukul 3 subuh padahal kami sudah menunggu dari jam 1 dini hari. Tampaknya kami rombongan pertama yang masuk, tapi kami biarkan saja beberapa rombongan mendahului kami. Demi janji bersama bersepuluh, blue fire tak lagi penting. Selain itu, kami juga membiarkan paru-paru berfungsi dengan nyaman, tidak memaksanya terlalu berat bekerja. Di atas sana, toh kami masih bisa menjumpai matahari terbit. Dan tak ada yang lebih menyenangkan daripada menyelesaikan perjalanan bersama-sama, bukan?

Semula, kami tak saling kenal. Sampai-sampai ada yang perlu membaca tentang background pendidikan agar bisa membuka percakapan. Tapi dalam dua hari saja rasanya kami sudah berebut saling mencela dan menertawakan.

Semula, kami dijanjikan mendapat rumah tinggal atau homestay. Nyatanya, ada perubahan. Kami pun tumplek blek di satu rumah. Biarpun tak bisa berbalik ke kiri dan kanan, asal badan bisa lurus terebah masih lebih baik ketimbang lutut dan leher tertekuk di jok mobil.

Semula, perjalanan ini bertajuk “Lovemission trip to Baluran”. Ya, cinta juga hadir menemani perjalanan kami. Cinta mewujud dalam ungkapan, “Apakah demamnya sudah turun?”; “Mau dipesankan makanan apa?” Dalam jawaban sambil terkantuk-kantuk, “Bilang aja kalau mau ke toilet, nanti aku anterin” Juga genggaman hangat peredam dinginnya jari-jemari.

Semula perjalanan ini dimaknakan sebagai perjalanan pribadi, tapi lalu membuka kemungkinan tak berbatas dari dalam diri. Sama banyaknya dengan kemungkinan tak terduga dari yang “semula” menjadi yang “kemudian”.

Hidup memberi pilihan, untuk dihidupi sepenuhnya, sebagian, seperempat bagian, dan berapa pun bagian yang mau kaupilih. Kalau boleh memberi saran, hiduplah sepenuhnya dan sambut semua kemungkinan.


(tulisan ini belum rampung, masih akan berkembang, masih terbuka berbagai kemungkinan rangkaian cerita)



Bogor, 7 Maret 2015

0 responses: