12 Maret 2024

Bimbingan di Penghujung Tesis

Obrolan pada suatu momen bimbingan tesis bersama Pak Gagan Hartana Tupah Brama, 16 Juli 2014.

“Jadi, apakah ada yang disebut kebenaran universal, Pak?” tanyaku saat sekali lagi menemui beliau di ruangannya.

Tidak ada. Kebenaran itu relatif, tegasnya. Setiap orang dengan latar belakang budaya, pendidikan, keyakinan, dsb memiliki kebenaran versinya sendiri. Sesederhana begini, lanjut beliau dengan mengajukan sebuah pertanyaan padaku.

“Bagaimana cara membuat air mendidih?” Kujawab, direbus. Dipanaskan.

“Bagaimana bila airnya diletakkan dalam gelas plastik ini?” tanyanya sambil tangan kirinya mengangkat sebuah gelas kemasan air mineral.

“Wah, ga bisa, Pak. Plastiknya lebur jika dipanaskan.”

“Ah, ya. Jadi tidak bisa, ya.”

Lalu ia melanjutkan penjelasannya. “Ada sebagian orang yang sangat yakin dengan pandangannya bahwa air akan mendidih hanya jika dipanaskan. Ya, itu benar. Namun, ada sekelompok orang yang mencoba cara lain, lalu menemukan bahwa air bisa mendidih ketika partikelnya digerakkan dalam kecepatan sangat tinggi. Teknologi itu kini bisa dinikmati di rumah-rumah pada umumnya, dalam bentuk microwave. Air yang dipanaskan akan mendidih, tetapi air tidak harus selalu dipanaskan agar mendidih. Inilah perbedaan paradigma. Dan perbedaan itu adalah karunia.”

 

Perbedaan adalah karunia. Hargailah perbedaan. Jangan berdebat, tetapi berpijaklah dari apa yang orang lain tahu.

 

Berdebat tidak akan ada ujungnya, bukan? Nah, lalu bagaimana menghubungkan pemikiran antarpemikiran? Ya, itu tadi, bicaralah dari apa yang orang lain ketahui, bukan dari apa yang saya tahu. Jika masing-masing orang berbicara hanya dari sudut pandangnya, bukankah tidak akan terjadi pertukaran informasi? Memang benar bahwa diperlukan empati, keterbukaan, dan kebesaran hati.

 

Hmm… aku masih penasaran. “Kalau begitu, Pak, dengan dialog dan keterbukaan, orang bisa saling menyatakan kebenarannya dan diperoleh titik temu atau jalan tengahnya?”

“Bukan seperti itu,” beliau mencoba menjernihkan pemikiranku. Kebenaran itu bergulir. Pandangan yang satu akan memperkaya pandangan yang lain, dan begitu seterusnya, menjadi inovasi. Saat mendengarkan penjelasan beliau, kubayangkan bentuk pertemuan antarpandangan itu seperti spiral DNA, yang berjenjang, terkait satu di atas yang lain, dan terus mengulir tanpa akhir.

“Coba perhatikan, adakah benda-benda yang kita gunakan yang bukan hasil inovasi?” tanyanya. Semua itu hasil inovasi nenek moyang kita. Pakaian ini, kancing ini, contohnya.

 

“Saya sudah pernah cerita, belum…?” Kutegakkan dudukku, siap mendengarkan cerita beliau berikutnya.

“Saat berlibur di salah satu pulau di Kepulauan Seribu, saya membawa pulang sebuah pepaya. Buahnya berukuran kecil, tidak seperti pepaya pada umumnya. Saat dikupas di rumah, terkejutlah saya karena isi buah itu seluruhnya biji, tanpa daging buah. Kulitnya pun sangat tipis. Buah itu saya bawa ke laboratorium MIPA, dan barulah saya tahu bahwa itu jenis buah pepaya murni. Aslinya pepaya, ya, seperti itu. Ilmu pengetahuan dan penelitian akhirnya menghadirkan buah pepaya dengan daging buah yang tebal, yang kita nikmati sebagai buah pepaya.” Lalu imajinasiku membayangkan perbincangan para ahli, mungkin berpuluh-puluh tahun sebelumnya, yang menguji coba berbagai kemungkinan  jaringan hingga menghasilkan daging buah pepaya. Wow.. betapa perbedaan justru menciptakan inovasi baru dan bermanfaat. Pak Gagan melanjutkan, jangan-jangan kita ini hanya sebagai generasi yang menikmati kreasi dari para leluhur dan belum berkontribusi apa-apa pada kehidupan sekarang maupun untuk kehidupan generasi berikutnya. Hmm…iya juga.

 

Beliau melanjutkan lagi. Dalam Al-Qur’an tertulis, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Ketika sudah sampai di Cina, pepatah di sana malah mengatakan bahwa di atas langit masih ada langit. Bangsa Cina sangat menghormati leluhur. “Ajaran ini mengajarkan kerendahan hati,” jelasnya. Dalam menghadapi perbedaan, yang diperlukan adalah kerendahan hati dan tidak merendahkan pihak lain. Bersikaplah rendah hati.

 

Dengan menyadari bahwa tidak ada kebenaran mutlak, bahwa kita akan selalu menemui perbedaan, maka pesan untuk rendah hati menjadi begitu kuat dan mengena untukku. Pesan berharga yang amat disayangkan jika tidak kubagi pada orang lain.

 

“Tetapi…” Beliau seperti teringat sesuatu. “Ada satu yang universal, yang dimilki setiap manusia, yang berlaku sama pada setiap manusia. (Ia adalah) Hati nurani." Hati yang akan sama-sama terusik, sama-sama tergerak. Terhadap apa? Setiap kita pasti bisa menjawabnya :)