18 Juni 2016

Piper

Sekawanan burung kedidi mendarat di hamparan pasir yang baru saja dibasuh ombak. Mereka mematuk mencari kerang untuk dimakan. Tak sampai semenit, ombak datang dan dengan sigap mereka terbang.


Di atas pasir lembut yang terlindung oleh sekumpulan rumput, seekor anak burung kedidi berkeciap-ciap. Warna bulunya putih berselimut abu-abu pada kepala dan sayapnya. Bola matanya bulat berbinar. Paruhnya kuning dan runcing. Ibunya baru saja meninggalkannya untuk mengambil kerang. Tapi kerang itu bukan untuk anaknya. Dengan anggukan kepala, ia panggil anaknya untuk mengikuti ia ke tepian pantai. 



Anak burung tidak tahu harus melakukan apa di pantai itu. Kerang kecil di paruh ibunya lagi-lagi bukan untuk anak burung itu. Sorot mata ibunya memandang ramah kepada anaknya, meyakinkan anaknya untuk mencoba sendiri mematuk kerang di atas pasir. Anak burung itu berusaha mematuk, namun belum-belum ia berhasil, gemuruh ombak sudah terdengar. Belum sempat pula ia paham apa yang terjadi ketika semua burung lainnya berlari dan mulai terbang. Langkah larinya masih pendek-pendek dengan wajah bingung dan mata mengerjap. Dalam hitungan detik, ia diguyur ombak. Melayang-layang di dalam air hingga terdampar di atas pasir. Saat terbangun, bulu-bulunya kusut. Sejak itu ia takut pada laut. Biarpun diajak kembali oleh ibunya, ia tetap memilih bersembunyi di balik rumput. Hingga akhirnya muncul bunyi keroncongan dari dalam perut. Ia mesti cari makanan! Maka ia beranikan diri melangkah mendekati laut. Setiap ada suara gemuruh, ia kembali ke balik rumput. Akhirnya tiba juga di tepian, sepertinya situasi tenang, ia mencoba mematuk. Rupanya ia berebut dengan dua kelomang yang juga mencari kerang. Dan….o’ow, ombak mendekati pantai. Anak burung diam terpaku. Ia bingung seketika. Dua kelomang langsung masuk ke dalam pasir untuk berlindung. Insting hidup mendorong anak burung itu untuk mengikuti cara kedua kelomang, membenamkan tubuhnya yang bulat itu ke dalam pasir. Hulp, ia bersembunyi. Lantas ombak memerangkap mereka. Pasir terangkat, begitu pula mereka. Anak burung kembali melayang-layang dalam air. Cukup dalam, cukup lama. Perlahan ia buka matanya. Takjub ia melihat ada begitu banyak kerang di dasar. Ketika air kembali surut dan ia terbangun, anak burung ini segera berdiri. Dengan penuh semangat, ia memasukkan paruhnya ke dalam pasir, tepat sasaran mematuk kerang! Tak hanya satu, ia patuk lagi dan lagi, seolah hafal posisi kerang-kerang itu di balik pasir hingga terkumpul banyak makanan untuknya dan ibunya. Burung-burung pantai yang lain ikut senang dan terbantu oleh anak burung itu. Ketika ombak bergulung kembali datang, anak burung segera membenamkan kepalanya di dalam pasir, menunggu rahasia kerang terkuak. Tanpa lelah ia mengumpulkan kerang. Ia kegirangan dengan keberhasilannya. Berhasil mengalahkan ketakutannya pada ombak. Berhasil menemukan cara efektif memperoleh kerang. Belajar hal baru dari kawan  yang berbeda.  


Piper”, sebuah film pendek karya Pixar.


Hingga usia sekarang ini aku masih menyukai gambar-gambar kartun atau animasi. Kini gambar-gambarnya semakin memanjakan mata. Efek visualnya menjadikan gambar menyerupai wujud aslinya. Lebih banyak sensasi yang dirasakan, terlebih emosi yang tersentuh karena visualisasi yang lembut, ekspresif, seperti nyata, dan banyak lainnya. Salah satunya film mengenai burung pantai yang tadi kuceritakan. Riak airnya sempat membuatku tersadar, apakah itu dari gambar atau nyata? 

Sempat heran, apa yang mendorong para senimannya membuat karya sedemikian indah? Dengan teknologi yang tentunya tidak sederhana, tidak murah, membutuhkan kesabaran untuk mengoreksi, sementara teknologi terus saja meningkatkan kemahirannya. Karya terbaik mereka tahun ini barangkali mudah dilupakan oleh orang dan oleh jaman yang semakin mampu menghasilkan efek visual yang lebih baik di tahun-tahun mendatang. Film pendek yang menjadi pembuka film utama ini barangkali diingat samar-samar kisahnya dibandingkan isi film utama yang dibicarakan oleh banyak penontonnya. 

Tentu ada spirit luar biasa yang mendasari para seniman ini. Tampaknya yang mereka berikan bukan sekadar warna dan efek visual. Bukan itu, karena warna dan efek bisa pudar oleh jaman. Sepertinya, yang mereka beri adalah nilai-nilai sejati kehidupan, yang mereka anggap baik untuk diteruskan kepada anak-anak, pun orang dewasa. Kepada setiap hati yang tersentuh. 

Biar nilai-nilai itu terus hidup, tak pudar, tak tergerus.