09 Desember 2017

Perlukah peduli?

Bertemu dengan seorang asing dalam pertemuan yang tak disengaja, mungkin sering kita alami. Ada yang menjadi awal pertemanan baru, perjumpaan sementara, beberapa waktu, atau justru begitu saja berlalu. Ada juga yang sifatnya mendesak, menyerang, mengambil paksa milik kita. Ada yang mengibakan, perlahan menyentuh nurani, sehingga muncul keikhlasan untuk memberi. Memberi apa saja; waktu, perhatian, perkataan, materi, pun seucap doa dalam hati.

Barangkali ada dari kita yang pernah didatangi seorang asing dengan intensi meminta bantuan. Sekali dua kali pertemuan berisi kisah musibah ia tuturkan, kemudian hanya kita di sana yang mendengarkannya dan dipercaya bisa membantunya. Tak ada lagi orang lain. Kalaupun ada, ia berharap pada kita. Situasinya pun cukup genting, yang mau tak mau membuat kita berpikir, perlukah membantunya. Rasio ikut mendesak, tidak mau peduli bahwa hati sedang terombang-ambing; apakah orang ini dapat dipercaya? Benarkah semua yang diceritakannya? Mestikah saya yang membantu?

Bulan Desember ini, seperti juga terjadi pada tahun lalu, saya mengalami peristiwa serupa. Didatangi seorang yang semula asing, kemudian ia meminta bantuan. Mendesak, genting, penuh harap. Bukan permintaan yang sedikit. Saya tidak tahu bagaimana semesta bekerja, mempertemukan kami, juga pada waktu-waktu sebelumnya pernah mempertemukan saya dengan berbagai momen serupa, yang saat ini saya tidak ingat lagi persisnya. Ada kalanya, perjumpaan semacam ini menuntut pengambilan keputusan segera, antara membantu atau tidak membantu. Peduli atau tidak perlu peduli.

Bila mengingat pengalaman-pengalaman sebelumnya, yang mungkin pada waktu itu tidak banyak berpikir tetapi langsung bertindak, kali ini saya banyak menimbang pilihan, menyelami persoalan dan konsekuensinya. Waktu yang diulur memungkinkan prinsip dan nilai hidup, serta memori dan suara dari dalam hati ikut bicara. 

Begitu riuh di dalam, justru kalimat ini yang muncul dalam pikiran, “(kebenarannya) Cuma dia dan Tuhan yang tahu. Tapi kalau itu benar adanya, ke mana aku yang malah abai pada sesama?”



*


19 Agustus 2017

mereka bukan aneh

Sebut saja namanya Fara. Ia seorang remaja perempuan berusia 14 tahun, kelas 2 SMP di sebuah sekolah swasta. Tidak seperti remaja perempuan saat ini yang rata-rata menyukai film dan band Korea, Fara malah suka sekali film animasi dan komik. Ia bisa bercerita A sampai Z perihal animasi yang digemarinya. Hampir sebagian besar isi percakapannya mengenai animasi tersebut. Saat mengobrol, ia bisa tiba-tiba berganti topik pembicaraan lalu membahas animasi. Selama bercerita, bicaranya seperti meleter, ia bicara dengan cepat, terus-menerus, yang kata per kata kedengaran seperti tersambung, dengan nada suara datar. Pengucapannya agak kurang jelas. Secepat tempo bicaranya, cepat pula bola matanya berputar memandang satu titik ke titik lain, tetapi tidak kepada lawan bicaranya, ya, sangat jarang kalau boleh dibilang. Keinginan Fara yang terbesar saat ini adalah memiliki teman. Ia merasa sulit berteman. Teman-temannya tidak menyukai animasi, sementara ia tidak menyukai hal-hal yang disukai mereka, sehingga ia tidak bisa saling bertukar cerita. Di sekolah, pada jam-jam istirahat, ia lebih banyak di kelas. Ketika teman-teman lain duduk berkelompok dan mengobrol, ia duduk di bangkunya tak jauh dari mereka dan meneriakkan suara-suara hewan. Suaranya melengking. Fara mengaku senang membuat suara-suara hewan, ia tertawa saat menceritakannya pada saya. Fara juga bilang, teman-temannya menyebut dirinya aneh. Seorang teman yang memulainya kemudian teman satu kelas menjauhinya.

Berikutnya, sebut saja namanya Ahsa. Ia seorang remaja laki-laki. Tahun ini ia berusia 19 tahun, sudah lulus SMA di sebuah pesantren. Ahsa sering mengantuk dan gerak tubuhnya sangat lambat. Saat berbicara, ia seringkali lupa atau sulit menemukan kata-kata yang ia maksudkan. Menurut ibunya, Ahsa pernah kerasukan saat camping bersama teman-teman sekolahnya dan sejak itu ia seperti sering berbicara sendiri seolah berhalusinasi, berteriak kepanasan, dan menjadi mudah marah. Berbagai cara pengobatan, baik medis maupun nonmedis sudah diupayakan orangtua untuk menyembuhkan Ahsa. Peristiwa itu terjadi saat ia kelas 2 SMP. Sudah lima tahun sejak kejadian itu, ia mengonsumsi obat saraf untuk menyembuhkan ‘sakit’nya. Ahsa bahkan sempat berhenti sekolah dan melanjutkan dengan program belajar paket. Setelah kejadian itu, Ahsa mengatakan bahwa teman-temannya menyebut dirinya aneh. Ini membuatnya tertekan. Teman-teman menjauh. Justru ia sering menjadi korban bully. Prestasinya menurun, padahal saat SD ia selalu sepuluh besar. Ahsa baru bisa berteman lagi, dengan teman-teman barunya, setelah lulus SMA.

Seorang remaja lain, sebut saja namanya Iva, gadis cantik berusia 21 tahun. Ia pernah kuliah di jurusan Fisika di salah satu PTN ternama, tetapi kuliahnya tidak berjalan lancar. Menurut Iva, bukan karena persoalan akademis, tetapi karena masalah nonakademis. Ia merasa sulit berteman, tidak mengetahui harus berespon apa, bersikap apa. Ia sering tidak masuk kuliah hingga akhirnya berhenti. Iva banyak menunduk saat bercerita, jarang menatap mata lawan bicaranya. Bicaranya tersendat, seperti ada yang ia tahan dengan rahang yang mengatup dan membuka dengan kaku. Kelihatannya sulit sekali ia sewaktu menjawab pertanyaan, sehingga setelah berdiam lama, lebih banyak jawaban ‘tidak ingat’, atau ‘malas’ yang ia berikan. Ia bukannya tidak bisa berbicara, ia hanya tidak lancar mengutarakan maksudnya. Yang ia tahu, ia tidak memiliki kelebihan yang bisa dibanggakan. Gerak-geriknya kaku, tertawanya canggung ketika dipuji. Yang dominan dirasakannya adalah perasaan minder karena membandingkan dirinya dengan teman-temannya.

Bertemu dengan Fara membuat saya teringat pada teman semasa SMP dan SMA, yang melakukan hal-hal yang tidak umum, sehingga pelabelan ‘aneh’ dan sejenisnya disematkan padanya. Entah sebutan tersebut terdengar sampai di telinganya, atau hanya berdiam dalam pikiran yang kemudian disampaikan melalui mata kepada sepasang mata yang lain. Belum terpikirkan secara mendalam, mengapa perilakunya demikian. Justru mungkin, yang dilakukan adalah memilih tidak banyak berinteraksi dengannya. Memang, mudah sekali menghakimi sejak dalam pikiran.

Barangkali bukan berintensi untuk menjauhi mereka, hanya tidak paham bahwa mereka berbeda. Belum benar-benar menghayati pula bahwa berbeda bukan berarti aneh. Berbeda tidak hanya dalam rupa fisik, tetapi aktivitas neuron dalam otak, atau neurodiversity, demikian pakar menyebutnya. Perbedaan ini, salah satunya dapat berupa ketidakmampuan seseorang memahami petunjuk sosial, situasi sosial, dan ekspresi emosi. Orang-orang yang memiliki sindrom Asperger, atau spektrum Autisme ringan, mengalami hal tersebut. Betapa hal ini membuatnya sulit bersosialisasi karena salah menangkap respon orang lain atau tidak mampu menampilkan perilaku yang diharapkan ketika berinteraksi dengan orang lain. Tak jarang, para Aspie menarik diri dari lingkungan pergaulan.

Hal lain yang bisa membuat mereka berbeda adalah adanya hambatan. Seperti misalnya Fara, ia memiliki atensi yang lemah yang membuatnya tidak menyerap informasi secara utuh. Jarang memandang mata orang yang diajak bicara membuatnya tidak paham kapan perlu berganti giliran bicara, apakah lawan bicaranya paham, serta bagaimana respon orang tersebut. Pelafalan yang kurang jelas juga menghambat orang lain untuk paham maksud pernyataannya. Ketika komunikasi menjadi sulit, bisa dibayangkan bagaimana Fara melalui hari-hari sekolahnya sendirian, sementara ia sangat ingin berteman.

Ada pula yang tidak percaya diri, seperti Ahsa. Hanya karena suatu peristiwa atau insiden, teman-teman menjadikan hal tersebut bahan untuk mengoloknya atau menjauhinya. Perilakunya di bawah pengaruh obat sesungguhnya tidak bisa benar-benar ia kendalikan, namun apakah lingkungan memahami keadaannya? Seseorang yang berbeda, dan sudah diberi label, seperti sulit diterima apa adanya kecuali oleh orang-orang yang sama sekali baru mengenalnya.

Setelah menyelami masing-masing pribadi, rasa-rasanya pelabelan 'aneh' tidak bisa dijadikan candaan, guyonan, tertawaan, juga bukan sebutan untuk seseorang. Sebut saja mereka dengan namanya, kemudian tanyakan kabarnya :) 


*
Terima kasih kepada Fara, Ahsa, dan Iva, yang bukan nama sebenarnya. Dari mereka, saya belajar lagi.

*






06 Mei 2017

Ide-ide Sekolah Waldorf

Willing-nya besar, thinking-nya kecil. Bagi orang-orang ini, yang penting kerja, langsung eksekusi, ga perlu pikir-pikir dulu, lah. Ada sebutan dalam bahasa Sunda: ‘kumaha engke’. Gimana nanti. Sebaliknya, kalau thinking yang besar, willing-nya kecil, orang-orang ini adalah people with big idea, tapi pelaksanaannya… duh, ini gimana, ya, nanti bagaimana, dst. Orang Sunda bilang, ‘engke kumaha?’ Nah, yang seimbang itu, gambar yang di tengah, seimbang antara thinking dan willing.”


Penjelasan Amanda Andi Wellang bagian ini sepertinya melekat sekali dalam ingatan saya. Barangkali, karena memproyeksikan karakter diri (saya). Ups. Manda, panggilan akrabnya, membuat gambar tersebut untuk memberi penjelasan tentang rhytmic system yang menjadi salah satu dasar filosofi pendidikan Waldorf.

“Sebagai dosen, saya menemukan bahwa problem yang dialami mahasiswa saat ini adalah kurang memiliki pemahaman konsep yang mendalam dan komprehensif, untuk mengaitkan suatu konsep dengan konsep lain. Mereka pintar, bisa menjawab pertanyaan mengenai konsep, tetapi diam saat diminta memberikan contoh. Masalah ini tentunya bukan tiba-tiba muncul saat mereka kuliah, tetapi adalah hasil dari proses belajarnya sejak kecil. Apakah proses belajar mereka sudah tepat?” demikian penuturan Kenny Dewi saat ia pada mulanya tergerak mengadopsi model pendidikan Waldorf, dan kemudian mendirikan sekolah Jagad Alit Waldorf School di Bandung.

31 Maret 2017

Bertanya dalam Senyap (dengan interpretasi dari novel & film "Silence")

Kalau saya, selama dua tahun ini masih meminta penjelasan dari-Nya namun tak kunjung mendapat jawaban yang tuntas, apakah itu berarti Tuhan bungkam? Atau justru saya yang buta dan tuli? Ya, dua tahun lalu, tepat pada tanggal 30 Maret, ia berpulang kepada-Nya. Sejak hari itu sampai hari ini masih bersarang butir-butir pertanyaan dalam benak, tentang mengapa, andai saja, apakah mungkin, dan sebagainya; menelusuri setiap asumsi logis yang mungkin terjadi, yang kemudian bercabang berdaun tanda tanya.

Sebastian Rodrigues, seorang misionaris Yesuit Portugis yang dikisahkan Shusaku Endo dalam novelnya, Silence (terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2017), yang juga difilmkan baru-baru ini; menghadapi pergulatan iman dalam hari-harinya yang semakin sulit pada masa penyiksaan orang Kristen di Jepang pada abad ke-17: “Benarkah Tuhan hanya diam berpangku tangan melihat penderitaan?”

Baru kira-kira satu bulan yang lalu saya membaca novelnya kemudian menonton visualisasinya beberapa hari lalu. Bukan kisah yang mudah diterima akal dan rasa. Kisahnya bukan semata perjalanan misionaris, sejarah, agama baru, mayoritas vs minoritas, pengingkaran iman vs keteguhan iman. Ada suatu rasa yang lebih personal, lebih dalam, tentang hubungan manusia dengan-Nya. Rasa itu, sulit dituliskan, hanya bergetar, menyesak, saat saya membaca kalimat terakhir dalam novel; sama halnya ketika mendengar pemeran Rodrigues menarasikannya. “Tetapi Tuhan kita tidak bungkam. Andai pun Dia bungkam selama ini, kehidupanku sampai hari ini sudah cukup berbicara tentang Dia.” Ia, salah satu pastor yang terpaksa menyangkal iman atas desakan dan ancaman pemerintah Jepang pada masa itu, namun tetap menyimpan imannya rapat-rapat.

Iman dalam senyap. Iman dalam sembunyi. Beriman diam-diam, kalau bisa disebut demikian. Mengutip review-nya The Guardian terhadap film ini, “iman yang tak memerlukan panggung”; iman tidak memerlukan penilaian pun persetujuan orang lain; melainkan jawaban hati. Hanya ia dan Dia yang tahu.

Bahwa ada pribadi yang lemah, yang rela mengingkari iman berkali-kali, seperti Kichijiro dalam kisah tersebut, justru hal ini menunjukkan rahmat-Nya. Ia hanya tak setegar orang lain yang mengorbankan nyawa. Menggenggam imannya sambil memukul dada sendiri. Menelan rasa pahit. Dengan cara itu ia menjalani hidupnya. Dengan cara itu iman tak pernah benar-benar terhapus dari hatinya. Ia hanya tak sekuat para pemberani. Dan iman tetap menjadi rahmat baginya, bagi siapa saja.

Bolehlah saya mengambil makna untuk sementara ini. Ketika seseorang memohon dan berdoa, katakanlah untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik (kesejahteraan, kesehatan, kebahagiaan, dsb), lalu merasa belum juga terkabul permohonannya; jauh melampaui abad sebelum ini, ribuan doa sudah dipanjatkan demi nafas terakhir dan darah yang masih bisa menetes agar Tuhan mengangkat penderitaan tersebut; namun nafas dan darah akhirnya tetap berhenti. Barangkali terlalu jauh membandingkan kehidupan saat ini dengan ratusan tahun lalu, karena ada banyak kenyataan yang juga bisa menjadi cermin sehari-hari.


Dia tidak bungkam terhadap pertanyaan-pertanyaan saya. Saya hanya sedang menelusuri, mengilas-balik, setiap pertanyaan itu bersama-Nya. 

10 Maret 2017

Nou & Tam


“Hei, bangun..! Sudah sepi, saatnya berpesta!”
“Jangan kau cari risiko. Tadi masih kudengar suara pintu dikunci.”
“Nah, itu tandanya mereka semua sudah pergi. Ayo kita cari makanan.”
“Tidak, Nou. Ini belum saatnya. Kita mencari makan hanya pada malam ketika semua sudah tertidur.”
“Kau kuno sekali, Tam. Sekarang ini rumah benar-benar kosong. Tak perlu terpatok malam atau siang untuk cari pengisi perut. Ayo kita keluar.”
“Tapi….hati-hati. Ingat kawan kita terakhir yang masuk perangkap.”

Kaki-kaki Nou dan Tam melangkah cepat keluar dari bawah lemari menuju dapur. Mereka menggigit remah yang bisa dipungut. Berpindah dari satu sudut ke sudut lain. Mengikuti gerak hidung mereka yang menangkap aroma.

Siang itu di luar hujan. Bau rumput dan tanah, yang sebelumnya kering kini mendadak basah, menyeruak masuk ke dalam rumah. Bercampur aroma sisa makanan di dalam keranjang sampah. Bau di udara semakin pekat tercium oleh hidung mereka, hingga kemudian mereka mengenali ada aroma bonggol jagung. Mereka tarik keluar bonggol itu dari keranjang sampah. Sering mereka bekerja sama untuk mengangkat atau membawa makanan. Bukankah itu gunanya persahabatan? Boleh dibilang sudah satu tahun terakhir mereka bersama-sama dan satu minggu terakhir bersama di rumah itu.

Kedatangan mereka di rumah itu sama sekali tidak direncanakan. Memang, mereka suka bepergian ke banyak tempat mengikuti insting mereka, tetapi mereka tidak bisa juga dibilang seperti traveller impulsif. Hanya karena hujan demikian deras pada malam itu dan hingga berjam-jam. Selokan yang biasanya kering dan menjadi tempat perlintasan mereka, malam itu mulai penuh terisi air. Imbasnya, air mulai masuk ke dalam lubang yang menyambung ke suatu tempat di bawah taman. Tempat yang adalah rumah persembunyian bagi Nou, Tam, dan Gin. Ketika banyak rumah dibangun dengan megah menjadi kebanggaan sang empunya, tidak demikian rumah bagi Nou, Tam, dan Gin. Rumah itu, ya tempat sembunyi. Siapa saja pasti setidaknya butuh satu tempat sembunyi. Sembunyi dari keramaian, dari tuntutan, dari pertanyaan dan menikmati keleluasaan menjadi diri sendiri. Bahkan, dalam rumah-rumah yang besar dan luas itu, penghuninya justru merasa nyaman dalam kamar sembunyinya sendiri.  Kalau rumahnya tidak begitu besar, setidaknya mereka yang tinggal bersama mencari dunia pengalih sebagai tempat sembunyi mereka. Kira-kira begitulah yang dimaknai Nou dan Tam ketika mereka mengamati kehidupan manusia.