02 Mei 2020

Pendidik Pekerti


Selama kita pernah menjadi murid, setidaknya ada satu guru favorit yang berjasa dalam perkembangan pribadi kita. Mereka bisa jadi guru yang lembut dan penyayang, guru yang humoris, guru yang jenius, atau guru yang killer. Biasanya yang berkesan untuk jangka panjang bukan materi yang mereka ajarkan, tetapi karakter guru tersebut yang berdampak pada diri kita.

Satu guru yang termasuk salah satu top of mind saya adalah Ibu Roslin, guru pelajaran seni musik di SMP. Beliau terkenal killer, gaung namanya membuat kami tegak siaga, bahkan sampai kepada kakak-kakak senior kami di SMA yang pernah mengenal beliau. Seperti suatu sengat yang membuat kami berubah tertib dalam sekejap, entah di ruang kelas ataupun di lapangan sekolah. Saya pun termasuk kalangan siswa yang duduk tegang selama mendengarkan pengajaran beliau di kelas, sambil mondar-mandir atau sesekali duduk di bangku guru, seraya menggenggam penggaris kayu.

Akan tetapi, perasaan tegang itu berangsur berubah menjadi kekaguman, yang membuat saya justru fokus mendengarkan wejangan beliau, sehingga banyak pesannya masih saya ingat hingga hari ini. Saya pun merasa beruntung memiliki waktu tambahan menerima pengajaran beliau karena saya mengikuti ekstrakurikuler koor (paduan suara) yang diasuh oleh beliau.

Sekali-kalinya saya pernah kena tegur langsung adalah ketika tanpa sengaja melangkahi tanaman. Jadi ada jalan masuk selebar satu meter dan di sebelahnya dijadikan lahan untuk tanaman hias. Bukannya berjalan di jalan masuk, saya ambil gampangnya saja melangkahi tanaman hias yang tingginya juga tidak sampai selutut saya. Ibu Roslin ternyata melihat itu, dan saya ditegur kenapa tidak lewat jalan masuk yang benar dan malah melompati tanaman. Sebenarnya beliau lebih banyak mengajar budi pekerti ketimbang seni musik itu sendiri. Untuk materi seni musik, kami diminta pentas vocal group setiap minggu. Kalau dipikir-pikir sekarang, justru sebenarnya momen tampil itulah menjadi jam terbang kami melatih kepercayaan diri.

Saya juga heran, apakah materi budi pekerti itulah yang menarik untuk saya simak setiap minggunya. Misalnya, ketika mendengarkan guru, kami dilarang keras sebentar-sebentar menengok ke luar pintu melihat siapa saja yang lewat di sana. Beliau bilang, kalau nanti jadi pekerja, tidak boleh sebentar ada apa tengok ke luar, ada suara tukang bakso, suara orang mengobrol, dsb. Kalau dipikir-pikir sekarang, benar juga, supaya kami fokus dalam belajar dan bekerja. Istilah psikologinya, selective attention, bisa memilah hal-hal yang menjadi perhatian kita. Yang tidak penting dan tidak relevan, ya tidak perlu diperhatikan.

Kalau diberi instruksi, tidak boleh bertanya ulang. Misalnya, ibu meminta tolong, “Nak, ambilkan lap di dapur.” Lalu, kita jawab, “Lap di dapur?” Wah, bertanya balik macam begini dilarang keras. Diberi instruksi kok bertanya balik, itu tidak sopan, kurang lebih seperti itu penuturan beliau. Artinya, lagi-lagi melatih fokus, karena kalau fokus mendengarkan, tidak perlu bertanya lagi, tetapi langsung laksanakan.

Khusus untuk koor atau paduan suara gereja, dilarang keras tengok-tengok ke deretan bangku umat, kipas-kipas, minum, apalagi mengobrol. Haha, ini terdengar kaku sekali barangkali, ya. Tapi itulah kekhidmatan yang beliau mau tanamkan kepada kami. Termasuk juga berjalan dan berdiri dengan tegak, serta posisi memegang buku lagu yang tepat.

Jika berusaha diingat-ingat, pasti ada banyak sekali ajaran beliau yang mungkin sekarang ini sudah terinternalisasi ke dalam karakter saya. Tiga tahun mengenal beliau justru tidak menganggapnya sebagai guru killer, tetapi saya mengingatnya sebagai guru favorit. Yang juga membuat saya mengidolakan beliau, karena suaranya yang merdu dan kepiawaiannya menjadikan suara-suara amatir kami sebagai remaja puber menjadi harmoni yang padu.

Malam ini, berita mengejutkan itu datang. Ibu Rosalin SB Pareira dipanggil Tuhan pada usia 84 tahun. Enam tahun lalu, 22 Februari 2014, tanpa sengaja saya pernah bertemu beliau dalam acara tahbisan uskup di Sentul. Beliau masih sehat, gagah, walaupun ingatannya mulai pudar selama berbincang. Beberapa tahun setelahnya beliau kembali ke kampung halaman di Ende. Kini jiwanya bernyanyi bersama malaikat di surga. Tepat pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2020. Hidup baktinya sebagai pendidik pasti terus digaungkan melalui karya-karya anak didiknya.



1 responses:

MacPhoa mengatakan...

Turut berduka cita untuk alm. Ibu Roslin, pernah jadi wali kelas saya dulu,karena badan saya kecil saya disuruh nulis apa yg dimakan setiap hari di dalam buku kecil. Setiap hari dilaporkan ke Bu Roslin di kantornya.