09 Mei 2013

Memperjuangkan ide


Memperjuangkan ide. Bukan, lebih dari itu. Memperjuangkan nilai keadilan. Ini bukan soal uang, bukan juga soal pengakuan semata.



Saya teringat obrolan dalam salah satu grup social media antarteman-kuliah belum lama ini. Kami pernah membahas tentang pencurian ide yang terjadi di tempat kerja. Topik ini memang bukan topik baru yang sedang tren. Topik ini seklasik masalah-masalah yang dijumpai dalam dunia kerja pada umumnya. Rekan kerja mencuri ide, atasan mengambil ide bawahan sebagai miliknya, dan sebagainya.


Boleh dibilang, saya pernah mengalaminya juga. Perlu saya sampaikan di awal bahwa penilaian tentang ‘ide saya diambil’ bisa saja subjektif. Maksudnya, mungkin itu hanya perasaan saya saja. Hanya dugaan. Tapi justru karena subyektivitas itulah, saya mengangkatnya dalam tulisan ini dengan maksud menyampaikan beragam perspektif mengenai topik ini.


Waktu itu, saya sering mengutarakan setiap ide yang muncul kepada atasan saya. Saya beruntung berada dalam organisasi yang memiliki hubungan akrab antara atasan dan bawahan. Saya pun tidak sungkan untuk menyampaikan gagasan baik dalam situasi formal dan informal. Kami bersama beberapa rekan kerja yang lain bahkan pernah meluangkan akhir pekan bersama dalam suasana santai untuk membicarakan ide-ide yang dapat menjadi terobosan untuk pengembangan karyawan. Dedikasi kami terhadap perusahaan memang tak perlu diragukan kala itu. Tak lama berselang, saya mendengar kabar bahwa perusahaan membuat rangkaian program pemberdayaan karyawan. Atasan saya menjadi salah satu penggerak program tersebut. Beberapa program terdengar mirip dengan gagasan yang pernah saya lontarkan. Waktu itu saya belum terpikir untuk menerka penyebab kemiripan tersebut.


Pada kejadian berikutnya, tidak hanya sekali, juga terjadi bahwa ide spontan yang saya sampaikan kemudian menjadi program kerja. Bahkan pernah suatu kali saya dengar dari teman bahwa atasan saya mengatakan bahwa ia yang merancang program tersebut. Sempat terkejut? Tentu saja. Sebal? Umm…mungkin ada, sedikit. Entah karena kepolosan saya, atau rasionalisasi diri yang bekerja mengabaikan ego, atau bekal dari pelatihan karakter yang pernah saya peroleh, saya langsung berpikir bahwa hal tersebut bukan masalah besar.


Saya berkata pada diri sendiri, “Tidak masalah. Tidak perlu khawatir jika idemu diambil orang. Kalau idemu digunakan, justru itu bagus, dong? Berarti idemu bermanfaat, bukan? Toh, tujuanmu menciptakan ide adalah hasil akhirnya, kan? Tidak masalah jika bukan dirimu yang melaksanakannya. Yang penting adalah outputnya, yaitu kualitas yang lebih baik. Memangnya kamu perlu pengakuan dari orang-orang bahwa itu idemu? Ide itu hanya sebagian kecil dari ide-ide yang kamu miliki, bukan? Ingat, orang kreatif tidak pernah kehabisan ide. Biarkan orang lain mengambilnya, kamu akan tetap mampu menghasilkan ide baru. Jadi, untuk apa merepotkan diri dengan menggerutu atau memusingkannya?” (baca juga: Apa idemu?)


Ya, itulah sikap saya terhadap pencurian ide. Dan saya memang tak pernah memusingkannya. Tak pernah merasa perlu untuk menuntut pengakuan atau apa pun itu. Dan memang ini bukan masalah besar buat saya. Lagipula, semua ini juga hanya berdasar pada asumsi dan dugaan. Tak ada bukti. Hanya pada tataran ide. Dan siapa pun sah untuk mendapat inspirasi dari mana saja, termasuk saya dan atasan saya itu.


Nah, inilah bedanya dengan sikap Dr. Robert Kearns (1927-2005). Beliau adalah penemu sistem kipas kaca intermitten (intermittent windshield wiper) yang digunakan pada kebanyakan mobil sejak 1969 hingga sekarang. Kisah penemuannya begitu fenomenal hingga dibukukan dan difilmkan. Baru saja saya menonton filmnya, Flash of Genius (2008). Singkatnya, Dr. Kearns –yang dibintangi oleh Greg Kinnear- menemukan mekanisme kerja wiper otomatis. Didorong oleh rekannya, ia sampaikan ide tersebut kepada Ford Motor Company. Secara lisan, Ford menyatakan sepakat bekerja sama dengan Kearns. Negosiasi dilakukan dan Kearns meminjamkan prototipe wiper buatannya. Namun kemudian Ford membatalkan secara sepihak dan tanpa sepengetahuan Kearns, Ford menggunakan ide Kearns dan memproduksi wiper tersebut untuk produk Mustang terbaru secara masal. Kearns, yang sudah mendaftarkan hak paten untuk wiper tersebut, menuntut Ford untuk mengakui kepada publik bahwa Ford telah mengambil ide Kearns. Tampak tak masuk akal memang, seorang pria biasa melawan korporasi raksasa. Bahkan perjuangannya ia lakukan sendirian, karena pengacara pun mengundurkan diri dari kasus ini.


Perjuangannya tidak sia-sia. Oleh pengadilan, Ford Motor Company dinyatakan melanggar hak cipta dan dituntut ganti rugi. Dr. Kearns memenangkan pertarungan tersebut meski ia harus membayar mahal. Ya, momen 12 tahun bersama keluarganya ia korbankan dan ia pun sempat mengalami gangguan mental akibat kasus yang menyita hidupnya ini. Dalam pikiran orang sehat –mereka yang menganggap sebagai pikiran waras-, Kearns mungkin dianggap berlebihan. Untuk apa memperjuangkan tuntutan dengan sebegitu militannya? Padahal Ford Motor Company sudah memberi penawaran damai mulai dari 1 hingga 30 juta dollar dan ditolak mentah-mentah oleh Kearns. Jumlah yang lebih dari cukup untuk masa depan keenam anaknya pada era 1980-an itu. Apa yang Dr. Kearns cari? Pengakuan dan titel sebagai penemu?


Tapi akhirnya saya mengerti.


Bukan, ini bukan soal uang. Bukan pula pengakuan dan harga diri semata. Ini soal nilai kebenaran dan keadilan. Jika Dr. Kearns mengalah dan berdamai, tindakannya hanya semakin mengukuhkan bahwa tidak ada peluang bagi penemu independen untuk memperjuangkan haknya dan bahwa perusahaan besar selalu punya kuasa dan uang untuk membeli ide. Disebutkan juga dalam kisah Dr. Kearns, bahwa ia mendapat banyak dukungan dari para penemu amatir lainnya, orang-orang yang pernah mengalami nasib serupa dan berhenti berjuang karena tidak ada harapan. Perjuangan Dr. Kearns mewakili perjuangan mereka.

“Money never was the point anyway. I've done too much hurting," Kearns says. "I want to protect other inventors by showing the little guy can win." (www.people.comVol.34, 1990).


Bukankah hal semacam ini sering terjadi? Maksud saya, bahwa “uang damai” menjadi solusi yang ditawarkan dalam hampir semua masalah pelanggaran? Jika dengan mudahnya orang menerima uang damai, mungkin masalahnya memang selesai. Toh, masalah pelanggaran ide semacam ini bukan pelanggaran pidana yang menyangkut nyawa. Tapi lihat, bayangkan, apa dampaknya 10 tahun, atau 20 tahun yang akan datang jika semua kasus ditutup dengan uang damai? Akankah ada peluang bagi hak orang-orang benar?


Dengan mengangkat kisah saya sendiri di awal tulisan, saya sama sekali tidak bermaksud ikut-ikutan menuntut seperti yang Dr. Kearns lakukan. Saya dan banyak orang lain pasti memiliki preferensi masing-masing dalam menyikapi pencurian ide. Yang jelas, film Flash of Genius mengajarkan saya perspektif baru, tentang memperjuangkan hal benar, bukan hanya demi diri sendiri tetapi untuk keberlangsungan hidup manusia. Terdengar berat? Terlalu serius? Silakan Anda menilainya sendiri J



3 responses:

WishIndo Publisher mengatakan...

: Tulisan yang menginspirasi nilai-nilai kebenaran sebagai nilai luhur lagi ksatria.

: To be or not to be, that is the question. (Per aspera ad astra)

WishIndo Publisher mengatakan...

: Tulisan yang menginspirasi nilai-nilai kebenaran sebagai nilai luhur lagi ksatria.

: To be or not to be, that is the question. (Per aspera ad astra)

mia marissa mengatakan...

Terima kasih Mas Djony, untuk apresiasinya :)