18 Maret 2022

Tragedi Chernobyl dan Reputasi yang Dipertaruhkan

(Tulisan ini merupakan hasil refleksi berdasarkan film miniseri HBO berjudul “Chernobyl” yang saya tonton beberapa waktu lalu.)


Sebagian dari kita mudah merasa terancam oleh penilaian orang lain terhadap hasil kerja kita. Misalnya begini,  

A: “Prosesnya ini memang lama, ya?”

B: “Sudah saya awasi terus, kok, dari pagi tadi. Sampai-sampai saya telat makan siang.”

Atau mungkin ditanggapi B dengan, “Kalau mau cepat, minta bantuan jin aja.”

Mungkin Anda geleng-geleng merespon keanehan dua tanggapan tersebut karena tidak nyambung dengan pertanyaan. Pertanyaan yang sebenarnya hanya butuh dijawab “ya” atau “tidak”. Akan tetapi, yang ditanya pada contoh ini mudah sekali tersinggung, mungkin merasa dirinya tidak dipercaya, atau merasa diremehkan, sehingga memberi tanggapan membela diri atau tanggapan sinis.

Anda mungkin geleng-geleng keheranan dengan contoh tadi. Atau, apakah malah kondisi ini mencerminkan pengalaman Anda juga? Merasa ditekan atasan di kantor, direndahkan pasangan, dianggap tidak mampu oleh rekan. Menjadi bias karena penilaian yang keliru terhadap orang lain.

Situasi ini jelas bisa memperkeruh suasana. Bahkan bisa membahayakan ketika berdampak pada tindakan kerja, seperti yang dialami para staf di ruang kendali PLTN Chernobyl pada 26 April 1986.

“Dasar bodoh! Kamu melakukan kesalahan.”

“Kau kebingungan! Reaktor tidak meledak. Perkataanmu itu mustahil! Sebuah inti tidak bisa meledak. Pasti tangkinya.”

“Diam dan lakukan pekerjaanmu!”

Kira-kira semacam itu respon Anatoly Dyatlov sebagai atasan kepada stafnya. Langsung setajam itu. Menusuk harga diri mereka, tidak mempercayai mereka, mempermalukan di hadapan rekan kerja yang lain. Staf yang memberi laporan malah diragukan validitasnya, bahkan dianggap mengkhayal. Suaranya dinihilkan. Dan ketika staf lain mengajukan pendapat, ia dianggap melawan.

Benar-benar cara ampuh seorang atasan untuk membungkam pendapat bawahan yang berbeda, namun di sisi lain menjadi boomerang ketika dampak pengabaian ini sungguh berbahaya.

Sebenarnya apa yang membuat seorang atasan tidak mau mendengarkan bawahannya? Barangkali ego, barangkali ada reputasi yang dipertaruhkan apabila ketahuan bahwa ia salah dan gagal.

Sebagai pribadi yang keras dan tegas, dingin, berdedikasi, dan ingin tugasnya selesai, Dyatlov harus mempertanggungjawabkan hasil uji keamanan malam itu kepada atasannya. Ia sangat tidak bisa menoleransi kelalaian dan bawahan yang tidak kompeten. Kalau eksperimen itu tidak dilakukan atau tidak berhasil, bisa jadi ia khawatir hal itu mengancam kompetensinya dan mungkin, peluangnya untuk dipromosikan. Maka, fakta yang jelas-jelas ada, bahwa reaktornya telah meledak -dan ia sendiri pastinya mengetahui tanda-tandanya saat mengecek ruangan sekitar- ia tolak mentah-mentah. Ia pegang keyakinan palsu bahwa kondisi aman terkendali. Kita tidak benar-benar tahu alasan sikap dan perilakunya itu, semata karena kekerasan pribadinya atau mengandung kecemasan tingkat tinggi dalam situasi krisis. 

Sementara itu, di jantung pembangkit listrik itu, api telah berkobar-kobar, asapnya membumbung tinggi dan dentumannya telah membangunkan segenap warga pada dini hari itu.

Berapa harga yang harus dibayar atas kecerobohan kerja ini, termasuk politik, kebijakan, dan konstruksi PLTN yang berisiko? Sangat mahal. Pencemaran udara, tanah, dan air yang diperkirakan masih berdampak hingga 100 tahun. Tentu ada korban jiwa. Diperkirakan puluhan ribu nyawa (4.000-93.000) meninggal dan kenaikan drastis jumlah pengidap kanker, terutama pada anak-anak.

Tulisan ini tidak bermaksud mencari asal-muasal bencana dan siapa yang harus bertanggung jawab, karena biarlah mengenai hal itu, pembaca bisa mencarinya di tulisan-tulisan lain. Apalagi untuk mempersalahkan suatu pihak, saya tidak berhak. Tulisan ini sekadar memotret secuplik dari kisahnya.

Chernobyl pernah ada dan masih akan diingat dalam sejarah. Ia menjadi kenangan abadi (vichnaya pamyat). Menjadi pengingat bagi kita, setidaknya bagi saya pribadi, tentang poin berikut.

  • Senjata verbal kerap masih digunakan orang-orang dalam berelasi dengan rekan kerja, orang tak dikenal, bahkan bisa jadi dengan pasangan dan keluarga. Dengan senjata ini, orang membungkam lawan bicaranya agar keinginannya bisa terlaksana. Di sisi lain, senjata ini menghancurkan.
  • Salah satu human error dalam pekerjaan yang mungkin paling berbahaya adalah penyelamatan reputasi dan ego pribadi, yang membuat seseorang gelap mata sampai-sampai tidak mampu melihat fakta dan realita yang terjadi.
  • Dalam situasi krisis, atau mungkin dalam banyak persoalan, seringkali yang dibutuhkan adalah membuka mata dan telinga, untuk menyadari kebenaran yang jelas-jelas ada.

Sejarah adalah juga anugerah. Semoga kita yang menengok kepada sejarah bisa belajar dari cerita dan kenangan yang ada. 

0 responses: